banner 728x90

Surawisesa : Raja Sakti Sunda Pajajaran Pembuat/Menulis Jurnal Pada Batu !

Surawisesa : Raja Sakti Sunda Pajajaran Pembuat/Menulis Jurnal Pada Batu !

Hari ini, tepat pada tanggal 14 Desember 2020 merupakan hari yang berbahagia bagi CJI.
Pada tanggal tersebut, CJI resmi menemukan guru besar dari organisasi Citizen Journalism Interdependen yaitu Prabu Surawisesa, Raja kedua Kerajaan Sunda Pajajaran (1521 – 1535 Masehi). Beliau dianggap sebagai guru besar CJI karena pencapaiannya
“ nulis dina batu ”.

Tulisan tersebut masih bisa kita lihat sampai hari ini yakni Prasasti Batu Tulis yang terdapat di Bogor. Prasasti tersebut memuat informasi terkait jasa-jasa raja pendahulunya, Sri Baduga Maharaja.
Dalam prasasti ini dikisahkan Sri Baduga Maharaja adalah seorang raja yang dermawan dan mampu mensejahterakan rakyat Sunda.

Sebagai seorang (anggota) Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga yaitu kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan artikel, maka kemampuan minimal dan utama yang harus dimiliki adalah kemampuan menulis.

Seorang Citizen Journalist harus bisa menulis dimana saja dan kapan saja serta menggunakan media apa saja, sebab guru besarnya saja menulis di batu dan menyampaikan informasi menggunakan batu tersebut.

[ sungguh luar biasa, sakti mandraguna bisa dan mampu menulis pada media batu ]

Meski begitu, di CJI ada suatu ajaran yang belum bisa saya implementasikan yaitu ajaran “ menulis untuk hari esok ”.
Keterangan waktu dalam tulisan saya masih sebatas hari kemarin dan hari ini, belum mencapai kemampuan menulis untuk hari esok (masa depan). Tentu, dibutuhkan jam terbang dan pembelajaran lebih lanjut untuk mencapainya.

Meski begitu, dalam setiap pembelajaran pasti terdapat pencapaian. Dalam tulisan ini saya hendak membagikan sedikit pencapaian saya di CJI.

Tulisan ini merupakan tulisan saya yang ke 200 di CJI. Jujur, tidak mudah untuk mencapainya.
Tulisan saya yang pertama, saya berani bilang itu cukup jelek dan tidak enak dibaca. Tanda baca yang berantakan, dislokasi huruf kapital, pemenggalan kalimat yang tidak tepat dan diksi yang masih sangat terbatas.

Alhamdulillah, dengan pembelajaran terus menerus dengan tetap membuat tulisan walaupun masih belum bagus, akhirnya saya bisa mencapai pencapaian ini.
Seseorang pernah berkata,
” tulisan pertamamu pasti jelek, tidak sempurna, meski begitu, tanpa tulisan pertama, maka tidak akan pernah ada tulisan yang ke 100 atau dalam kasus ini yang ke 200. “

Menulis itu bukan aktivitas yang mudah. Dibutuhkan ketajaman berfikir, pelibatan imajinasi, perbendaharaan informasi dan diksi, serta niat dan tekad yang kuat. Dalam mencari bahan tulisan, tidak selamanya mudah dan berhasil.

Contohnya pada tanggal 14 Desember 2020, ketika saya menelusuri jejak pendekar pergi ke Lembang Kabupaten Bandung Barat untuk mewawancarai Kang Asep Gurwawan, juara ‘ jawara ‘ silat dunia. Pada tanggal tersebut beliau sedang ada agenda di luar kota, maka penelusuran jejak pendekar harus diganti ke hari lain.

Di CJI sendiri, ada dua anggota yang saya kagumi tulisannya dan sampai hari ini saya masih belum bisa menyaingi (isi) karyanya yakni Irvan dan Sidik.
Jika dibandingkan, tulisan saya masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan karya mereka, meski begitu saya akan tetap belajar dan berlatih dalam menulis.

Rock Lee, salah satu tokoh dalam serial kartun Naruto juga mengajarkan,
“ dengan tekad yang kuat, kerja keras dapat mengalahkan bakat. ”

[ hal ini pula yang pernah Honda (pendiri) katakan ]

Dalam penulisan di CJI, saya selalu diajarkan untuk menulis “ walaupun ” bukan menulis “ karena ” atau menulis “ jika ”.
Sebab menulis “ karena ” artinya tidak ikhlas, misal : Saya menulis karena dibayar.
Artinya seseorang tersebut jika tidak dibayar tidak akan menulis.
Lalu, Saya akan menulis jika ada waktu. Maka jika tidak ada waktu, seseorang tersebut tidak akan menulis.

Hal yang tepat adalah menulis walaupun, contoh: Saya menulis walaupun tidak punya waktu dan tidak dibayar.
Artinya meskipun tidak ada waktu dan tidak ada pembayaran, seseorang tersebut akan tetap menulis.

Bahasa kerennya, ‘ sanajan ‘. ‘ Sanajan ‘ jauh lebih baik daripada (gunakan) ‘ ku sabab ‘ atau ‘ atuh da ‘ dalam suatu negasi tertentu.
Coba bandingkan kedua kalimat berikut,
“ Sanajan hujan, saya mah akan tetap berangkat ! ”
“ Ku sabab hujan, saya mah akan tetap berangkat ! ”

Mana yang lebih masuk akal ?

Tentu, itu mah hanya contoh. Sudah barang tentu setiap diksi mempunyai penggunaan dan implementasi yang berbeda dimana itu tadi hanya pemahaman saya yang belum sempurna sebagai orang awam tentang ilmu kebahasaan, masih harus banyak belajar.

Jadi, dapat kita simpulkan menulis itu tidak mudah, meski begitu menulis merupakan hal yang penting. Karena dilansir dari beberapa sumber, menulis bisa menajamkan dan merapikan pola berfikir, meningkatkan daya ingat, meningkatkan kemampuan analisis, meredakan stress dan yang terpenting mengabadikan ilmu pengetahuan dan suatu peristiwa.

Terakhir.
Dulu sempat terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, bagaimana jika ke depannya, dibuat peristiwa Bandung Lautan Tulisan ?

Cimahi, Selasa, 15 Desember 2020

Rizal Ul Fikri CJI

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan