Reaktualisasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan PM NKRI dari Pasundan Ir. Djuanda Kartawijaya


Tanggal 13 Desember selalu menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia, sebab hari tersebut diperingati sebagai hari Nusantara. Tanggal tersebut menandai tonggak sejarah penting dimulainya perjuangan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan ditetapkannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS) 1982 yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan (archipelagic principles) yang diawali dengan diumumkannya “ Deklarasi Djuanda ” pada tanggal 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda merupakan peristiwa historis dan monumental yang pernah terjadi kepada bangsa Indonesia, bagaimana tidak, itulah perjuangan Ir. H. Djuanda Kartawidjaja melawan rezim internasional yang tidak bersahabat, pertarungan jalur diplomatis dengan damai tanpa kekerasan.
Bertepatan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 2020, Kongres Sunda mengadakan webinar yang berjudul “ Reaktualisasi Pemikiran Kebangsaan dan Kenegaraan PM NKRI dari Pasundan Ir. H. Djuanda Kartawijaja ” menggunakan aplikasi zoom.
Kegiatan ini bertujuan untuk mangaktualisasikan pemikiran besar seorang Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri terlama yang pernah dimiliki Indonesia. Beliau adalah seorang pemimpin, tokoh nasional non partai yang berasal dari bumi Pasundan.
Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua Kongres Sunda, Avi Taufiq Hidayat. Lalu dilanjutkan dengan mendoakan para pahlawan yang telah banyak berjasa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah itu, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Acara tersebut dihadiri oleh 117 partisipan yang didalamnya termasuk para Inohong Sunda dari seluruh dunia.
Prof. Dr. Sri Edi Swasono diusung sebagai keynote speaker dalam kegiatan tersebut. Beliau membawakan materi tentang “ Pemikiran Besar Djuanda Kartawidjaja ”.
Prof. Edi menyampaikan bahwa Deklarasi Djuanda merupakan suatu bentuk tindak lanjut dari Proklamasi Indonesia, utamanya dalam bagian “ hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l. ”
Prof. Edi menilai Deklarasi Djuanda merupakan suatu deklarasi yang cermat, hebat dan monumental. Dengan dikeluarkannya Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957, maka Ordonisasi Tahun 1930 tidak berlaku lagi di Indonesia dan garis territorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
Dampaknya, wilayah kedaulatan Indonesia yang semula 1,9 juta kilometer persegi, menjadi lebih luas 2,5 kali lipat, dari 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer persegi tidak termasuk Irian Barat.
Selanjutnya, Deklarasi Pemerintah RI yang disebut dengan Deklarasi DJuanda, 13 Desember 1957, yang konseptornya adalah Mochtar Kusumaatmadja dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1960 Tentang perairan Indonesia. Konsep ini kemudian dikenal sebagai Wawasan Nusantara yang memandang Indonesia sebagai kesatuan wilayah bangsa Indonesia dan negara yang utuh artinya darat dan lautnya tidak terpisah.
Dari Wawasan Nusantara itu dapat lebih lanjut dirumuskan perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Kesatuan Politik, Kesatuan Ekonomi, Kesatuan Sosial Budaya dan Kesatuan Pertahanan Keamanan dimana masing-masing dengan uraiannya yang cukup mendalam tertuang dalam penjelasan Prof. Edi.
Intinya, Wawasan Nusantara memberi landasan untuk memperkukuh makna kebangsaan (nasionalisme) dan patriotisme Indonesia.
[ Wawasan Nusantara penulis pelajari ketika mengikuti kegiatan Bela Negara di Pusdikhub Cimahi dalam rangkaian kegiatan PPKK Politeknik Negeri Bandung ]
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Dr. Hassan Wirajuda, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia 2001 hingga 2009.
Menurut Dr. Hassan, sosok Ir. H Djuanda merupakan seorang Administrator dan Negarawan yang hebat.
Dia menyatakan bahwa Djuanda merupakan seorang “ Politician with win vision ” atau politisi dengan visi pemenang. Sangat jarang orang donesia yang mempunyai visi pemenang.
Dr. Hassan menceritakan bahwa sistem politik dan pemerintahan dunia di masa itu sangat tidak mendukung. Gagasan kedaulatan laut sebagai bagian dari Kesatuan Republik Indonesia mulai digagas di era Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956 dengan membentuk Panitia Inter-Departemental untuk merancang RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim.
Sayangnya, belum selesai panitia bekerja, kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Djuanda sebagai PM yang baru. Pada Agustus 1957, PM Djuanda menugaskan Mochtar Kusumaatmadja untuk merumuskan landasan hukum guna menjadikan laut sebagai bagian dari Indonesia secara utuh.
Dalam paparan Dr. Hassan, Mochtar Kusumaatmaja merupakan pengacara muda berusia 28 tahun yang dipercaya untuk menyusun konsep kewilayahan Indonesia.
Ini merupakan suatu bentuk pemberontakan terhadap sistem hukum internasional.
[ inilah sosok seorang petarung sejati yang mumpuni bertarung di level dunia global dan internasional ]
Ada hal yang menarik,
Dr. Hassan menjelaskan bahwa kita bangsa Indonesia sudah sangat terbiasa menjual tanah dan air kita sejak dulu.
Kita [ pemerintah ] pernah menjual pasir untuk reklamasi Singapura yang berdampak gesekan terkait batas wilayah.
Di zaman Soeharto pun kita pernah menjual air tawar ke Singapura dengan harga Rp 10/meter kubik, itu merupakan perjanjian internasional terlemah sepanjang sejarah Indonesia.
Pesan dari Dr. Hassan, kita harus mengisi kemerdekaan dengan konsisten mengimplementasikan konsepsi Wawasan Nusantara.
Pemaparan Ketiga, diisi oleh Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Kelautan dan Perikanan 1999-2001 era pemerintahan Gus Dur.
[ adik dari Mochtar Kusumaatmaja ]
Beliau menyatakan bahwa dewasa ini kita mengalami krisis multidimensi, multikompleks dan multiyears.
“ Kegiatan kita sehari-hari dalam bernegara sangat bertentangan dengan perjuangan Ir H. Djuanda ” ujar Sarwono.
Padahal, perjuangan Djuanda merupakan perjuangan melawan rezim internasional yang tidak bersahabat. Suatu pertarungan diplomatis dengan damai dan tanpa kekerasan.
[ sejatinya dia seorang pejuang petarung intelektual legendaris Bangsa Indonesia ]
Sarwono mengharapkan bahwa kita bisa menghitung asset negara kita dengan benar yang ada di darat dan di laut, terutama di laut,
baik secara geografis, strategis, biodiversity dan lain-lain.
Pemaparan berikutnya diiisi oleh Laksamana (Purn.) Dr. Ade Supandi, S.E., M.A.P. , mantan KSAL Periode 2014 – 2018.
Dr. Ade memaparkan bahwa Djuanda merupakan suatu perwujudan gaya orang Sunda yang sejati yaitu bertarung bukan dengan kekuatan fisik, tetapi melalui jalur diplomasi dan jalur hukum.
Sampai sa’at ini, Dr. Ade menjelaskan bahwa Djuanda merupakan orang Sunda dengan jabatan terbanyak sampai hari ini.
“ Perjuangan Djuanda adalah untuk menetapkan wilayah Indonesia pasca merdeka, pertanyaannya sekarang akan kita apakan ?
Djuanda berhasil memberikan perluasan yang luar biasa terhadap wilayah Indonesia, sekarang ‘ what’s next ? ‘ ” ujar Dr. Ade.
Dr. Ade menyampaikan bahwa Djuanda memiliki super team yang terdiri dari Mochtar Kusumaatmadja di bidang hukum dan R.E. Martadinata di bidang Kemaritiman.
Dr. Ade mamaparkan bahwa Ir. H. Djuanda merupakan bapaknya Angkatan Laut.
Beliau mempersiapkan dengan maksimal SDM dan prasarana angkatan laut. Negara Indonesia akan terbangun dengan baik ketika mempunyai SDM yang mampu mengelola dan memaksimalkan potensi laut, Jalesveva Jayamahe.
Pemaparan terakhir diisi oleh Faisal Basri.
Faisal menjelaskan bahwa Ir. H. Djuanda merupakan tokoh yang paripurna. Djuanda merupakan seorang pejuang, seorang guru, seorang revolusioner, seorang teknokrat, seorang administrator dan seorang negarawan yang hebat.
Beliau adalah juru damai yang maha sejuk. Beliau merupakan salah satu yang menentang gagasan A.H. Nasution yang ingin menempatkan petinggi TNI di BUMN.
Djuanda memberi masukan (walau menolak) tidak apa-apa jika itu memang kehendak presiden, asal kan (ada) satu permintaan yaitu agar bagian keuangannya harus dipegang oleh tenaga professional.
Dalam paparannya, Faisal menjelaskan bahwa Djuanda ibarat Zhou Enlai [ Perdana Menteri ] di negeri Tiongkok yang mampu menterjemahkan gagasan presiden [ kaisar ] menjadi suatu tindakan nyata.
Faisal juga memaparkan bahwa potensi laut bukan hanya ikan.
Bumi Indonesia di bawah laut mengandung minyak bumi dan gas alam.
Perairan ZEE berpotensi menghasilkan 6,7 juta ton ikan/tahun. Belum lagi laut nasional seluas 75 % dari seluruh permukaan wilayah nasional.
Setiap satu kilometer kubik air laut mengandung Oksigen dan Hidrogen, 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton lithium, 50 ton yodium dan 1 ton titanium, uranium, perak dan emas.
Terakhir, di dasar laut Indonesia terdapat banyak bungkalan-bungkalan sebesar kentang yang mengandung mangan, besi, nikel, tembaga, kobalt, titanium dan vanadium. (Sumber: Daoed Joesoef,
” Jalesveva Jayamahe ” Tinjauan Pembangunan Maritim Indonesia, Edisi III Tahun 2013: Menanggapi Negara Maritim, hal 6-7.)
Setelah semua pembicara memaparkan materinya, acara dilanjutkan dengan pemaparan tanggapan dari Dr. Fachry Ali, seorang Pakar Sosio Politik, Dr. Airlangga Pribadi, Pengamat Politik UNAIR dan Dr. Indra Perwira, Pakar Hukum Tata Negara daru UNPAD.
Para penanggap mengapresiasi dan membenarkan pemaparan para pembicara.
Dalam acara tersebut, juga hadir anak dan cucu Ir. H. Djuanda, salah satunya Iwanshah Wibisono.
Kegiatan berlangsung kondusif dan informatif, diakhiri dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri yang dipimpin oleh Acil Bimbo.
Semoga, ke depannya kita dapat mengaktualisasikan Pemikiran Besar Ir. H. Djuanda dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
Cimahi, Minggu, 13 Desember 2020
Rizal Ul Fikri CJI
No Responses