banner 728x90

BLT Oh B L T !

BLT Oh B L T !

“ Wahh gila sih, ngantri ngembaliin buku pinjaman di perpus aja udah kaya ngantri BLT, panjang banget ! ” itulah yang saya ucapkan dahulu atau jenis bercandaan saya dahulu ketika menemui antrian yang panjang sekali sa’at masih bersekolah dahulu.

Hal ini disebabkan antrian-antrian pengambilan BLT (hibah) yang sering saya lihat di televisi dan media, biasanya panjaaaaang sekali dan seringkali diiringi dengan kerusuhan.
Intinya adalah tentang kesabaran dalam menunggu di antrian.
Berbicara tentang antrian, maka antrian yang terjadi di sekolah bisa berbagai macam, entah pengembalian buku perpustakaan, kunjungan dari perusahaan susu beserta pembagian sample gratis, antrian pengambilan rapot, cek kesehatan gigi gratis hingga antrian ke kamar mandi.

Sejak saya bersekolah dahulu, saya mempelajari bahwa berdasarkan sifatnya, antrian terbagi menjadi beberapa jenis.

Antrian tipe pertama adalah antrian pembagian sesuatu atau pemberian yang bersifat gratis. Antrian ini cukup panjang dengan antusiasme tingkat tinggi, contohnya pembagian Bantuan Langsung Tunai atau BLT.

Antrian jenis berikutnya adalah antrian yang dilakukan oleh kita untuk membayar sesuatu. Contohnya ketika membayar belanjaan di kasir atau bayar pajak.
Antrian untuk membayar sesuatu memiliki antusiasme yang tinggi ketika membayar tiket perhelatan olah raga seperti sepakbola dan konser. Hal ini karena antrian yang dijalani melibatkan perasaan.

Antrian jenis terakhir adalah antrian yang dilakukan untuk mengurus sesuatu, entah antrian di disdukcapil untuk mengurus surat pindah, antrian mengurus perpanjangan STNK di Samsat, mengurus rekening di Bank dan lain sebagainya.

Saya cukup menyesal membuat bercandaan menggunakan antiran BLT, sebab pada tanggal 28 November 2020 saya berkesempatan merasakan antrian BLT yang sesungguhnya.
Karena pandemi Covid-19, Kementerian Sosial Republik Indonesia hadir untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai kepada Keluarga Penerima Manfaat yang sudah terdata.

Ayah saya termasuk ke dalam penerima BLT Kemensos. Pada tanggal 28 November 2020, ayah saya ada tugas dari tempat kerjanya untuk pergi ke luar kota, dimana hari tersebut bertepatan dengan pembagian BLT Kemensos tahap 9 untuk warga RW 14, RW 15 dan RW 16 Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi.

Saya diamanahi oleh ayah untuk mengambil BLT tersebut. Untuk berjaga-jaga, saya membuat surat kuasa yang ditanda tangani oleh ayah.
Ayah saya berkata,
” menurut informasi dari pak RT, pembagian dimulai pukul 8.00 pagi di SMPN 7 Cimahi, untuk pencairan perlu disiapkan fotokopi KTP dan fotokopi KK. “

Pukul 7.40 saya berangkat menuju SMPN 7 Cimahi. Alangkah kagetnya saya, antrian sudah mengular hingga panjang sekali, padahal pembagian baru dimulai pukul 8.00. Hal yang mengganggu pikiran saya adalah menurut informasi pak RT hanya 3 RW saja yang mengambil BLT di hari tersebut, sebab RW lain mempunyai jadwalnya masing-masing.

Dalam mengantri, kita biasanya mempunyai teman sekali pakai. Teman tersebut merupakan teman mengobrol kita selama mengantri, sering kali kita lupa memperkenalkan diri dan menanyakan nama mereka. Kita biasanya larut membicarakan tentang antrian, jam kedatangan, kemacetan, cuaca hingga penangkapan walikota.

Dari obrolan saya selama mengantri, saya mendapat informasi bahwa orang-orang sudah datang untuk mengantri sejak jam 5 pagi. Juga banyak orang-orang dari RW yang tersasar tidak mengetahui jadwal pengambilan BLT.
Hal ini mungkin karena misinformasi yang terjadi di masyarakat.
Saya yang datang pukul 7.45 mendapat nomor antrian ke 349.

Dalam antrian ini didominasi oleh ibu-ibu. Ada beberapa bapak-bapak dan lansia. Dalam hal ini, ibu-ibu banyak yang cukup galak dan agresif terutama dalam urusan antrian. Sudah dibilang hari ini bukan jadwalnya oleh petugas, ibu-ibu malah balik memarahi petugas dan berdalih,
“ saya sudah ngantri dari jam 4 pagi ! ”
Sempat hampir terjadi kerusuhan antara ibu-ibu melawan ibu-ibu karena perselisihan antrian.

Cukup lama saya menunggu untuk dilayani. Jika dihitung kurang lebih saya berdiri dan mengantri selama 3 jam. 3 jam demi uang tunai Rp 300.000, artinya 1 jam berdiri dihargai Rp 100.000. Saat nomor dipanggil pun masih harus melewati 5 pos pelayanan, mulai dari penyerahan fotokopian surat-surat, verifikasi data, barcode, tanda tangan hingga pencairan. Suatu perjuangan demi mendapatkan sejumlah uang.

Intinya, segala sesuatu memang harus diusahakan (kerja keras), termasuk bantuan dari pemerintah.

Cimahi, Sabtu, 4 Desember 2020

Rizal Ul Fikri CJI

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan