DOA YANG MENGANCAM : PERGULATAN BATIN ANTARA KEIMANAN DAN KEMISKINAN


Oleh : Irvan Achmad Fadilah
Dari sekian banyaknya film-film karya Hanung Bramantyo, hanya ada tiga film yang berkesan bagi saya, yaitu film Jomblo (2006), Catatan Akhir Sekolah (2005) dan Do’a Yang Mengancam (2008). Saya mungkin termasuk orang yang tidak terlalu tertarik dengan film-film Hanung karena gayanya yang terlalu pop dan komersil sekali.
Pop disini mungkin adalah pop yang berarti populer seperti pengertian sastra populer. Walaupun film-film Hanung banyak juga yang bertema kepahlawanan atau kenasionalisan seperti film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013) dan Rudie Habibie (2016), namun tetap saja bagi saya kurang menarik.
Mungkin pengaruh dari film-film sutradara Indonesia lain yang lebih saya sukai gaya maupun cerita-cerita yang mereka angkat. Sebagai contoh adalah film GIE (2005) karya Riri Riza, SITI (2016), karya Eddie Cahyono, Marlina :Si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017) dan Kucumbu Tubuh Indahku (2018).
Namun belakangan ini, saya baru sadar setelah berdiskusi dengan seorang teman yang juga berkecimpung di dunia perfilman bahwa sesekali kita harus menonton film yang benar-benar film hiburan. Setelah menonton film-film Lars Von Trier, saya menyempatkan untuk menonton film-film Marvel atau semacamnya.
Begitu pun film-film Hanung, mungkin hanya untuk film selingan, namun tetap menjadi bagian penting untuk perfilman Indonesia.
Kembali pada tiga film yang berkesan pada hidup saya, film Jomblo dan Catatan Akhir Sekolah adalah film yang berkesan karena ia mewakili perasaan atau sangat relateable dengan kehidupan saya.
Catatan Akhir Sekolah saya tonton sa’at memasuki masa dimana saya sudah diterima di Universitas Pendidikan Indonesia, otomatis film ini menjadi sebuah reminder atau pengingat kehidupan SMA.
Film Jomblo adalah film yang seakan-seakan sedang terjadi sa’at ini yaitu sa’at berkuliah. Tokoh Olip dan Bimo mungkin adalah gambaran dari perasaan dan tingkah laku sa’at ini saya jalani di kehidupan kampus yang kejam.
Lalu, film yang sebenarnya akan saya bahas secara lebih, Do’a Yang Mengancam. Film ini saya tonton sa’at saya mungkin SD kelas 5. Saya tonton di layar televisi milik saudara. Walaupun sudah lama tidak saya tonton, namun wajah dari tokoh Madrim yang diperankan oleh Aming begitu kuat melekat di benak saya.
Scene yang begitu saya ingat ialah saat Madrim mengunjungi emaknya ke kampung dengan mobil dan dikawal oleh seseorang berbadan besar. Saya sangat ingat Madrim meninggalkan emaknya sa’at emaknya masih siap-siap untuk pergi dengannya.
Jujur, saya baru membaca cerpen Do’a Yang Mengancam hari ini pada tanggal 14 September 2020. Ternyata banyak sekali penambahan, penciutan dan pergantian setting dalam film ini.
Dari segi tokoh, dalam cerpen disebutkan tokoh utamanya ialah Monsera dan di film menjadi Madrim. Sinaro dalam cerpen menjadi pak lurah. Setting tempat pun menyesuaikan dengan nama.
Setting tempat dalam cerpen adalah negara-negara padang rumput, hutan-hutan, dusun-dusun yang namanya asing di Indonesia seperti pemerintahan Salaban, Kota Ampari, Negeri Kalyana. Setelah goggling, ternyata tempat-tempat tersebut tidak ada di peta yang berarti tempat-tempat tersebut adalah tempat fiksi buatan si penulis cerpen, Jujur Prananto.
Dalam film, setting Jakarta lah yang dipilih untuk mewakili tempat-tempat orang terpinggirkan sekaligus tempat orang-orang yang kaya raya. Terdapat penambhan-penambahans seperti tokoh utama Madrim mempunyai isteri lalu si isteri meninggalkan tokoh Madrim. Dalam cerpen hal tersebut tidak ada.
Mungkin penambahan tersebut untuk memperparah derita dari tokoh Madrim sa’at dirinnya sangat kesusahan setibanya di Jakarta.
Hal yang menarik dalam film Do’a Yang Mengancam adalah ending dari ceritanya. Dalam kacamata atau opini penonton Indonesia, akhir Bahagia adalah prasyarat wajib bagi sebuah film berbasis komersial. Logika Aristotelian ini menjadi syahadat bagi insan filem nasional, tak terkecuali Hanung Bramantyo, yang ingin menghadirkan ini sesuai selera penonton.
Sebab, jika tidak sesuai dengan keinginan penonton pastilah filem ini terasa hambar dan ia akan dikutuk karena filemnya tidak memenuhi standar selera penonton. Baik Acara TV atau film yang komersil, sebuah produk harus berbanding lurus dengan selera pasar atau massa karena jika tidak, maka modal produksi tidak akan berbalik menjadi keuntungan.
Berbanding terbalik dengan apa yang tertulis di cerpen, tokoh utama, Monsera atau dalam filmnya (sebagai) Madrim, melihat ke cermin dan melihat masa depannya yang dibegal oleh penjahat. Ia menodongkan senjata pada Monsera lalu meminta uang. Monsera yang tidak membawa sepeser uang karena ditinggal di rumahnya pun dihujani oleh senjata yang penjahat itu pakai.
Bagi saya film ini menjadi gambaran dari potret kehidupan kaum-kaum terpinggirkan. Seringkali terjadi pergulatan antara keimanan dan kemiskinan yang berujung dengan jalan pintas.
Jalan pintas yang dipilih antara lain bunuh diri atau berhala pada selain tuhan.
Sebagai contoh adalah tukang sayur dekat dengan warung bapak saya yang memelihara tuyul untuk memperkaya hidupnya. Mungkin hal ini tidak sama dengan cerita Do’a Yang Mengancam, namun bisa dibilang serupa. Kaum-kaum terpinggirkan pun suaranya sangat tidak didengar pemerintah.
Terdapat Lembaga tinggi negara yaitu [D]ewan [P]erwakilan [R]akyat yang tugasnya mendengar suara-suara rakyat.
Namun kurang lebih, anggota DPR hanya tidur sa’at rapat tentang rakyat dan mengambil uang-uang rakyat. Mungkin tidak semua, namun tikus-tikus kantor tersebut harus segera dibasmi.
Akhir kata, semoga film Indonesia makin maju dan terus berkembang.
Bandung, Minggu, 8 November
Irvan CJI
No Responses