” Januari sasih payun, bade dikawitan program penyelamatan hutan Jawa Barat. Program Penanaman 25 Juta Pohon ” (Ridwan Kamil, 24 Desember 2019)


“ Januari sasih payun, bade dikawitan program penyelamatan hutan Jawa Barat. Program penanaman 25 juta pohon, ” ujar Ridwan Kamil pada 24 Desember 2019 di Bale Gede Julang Ngapak Alam Santosa Ekowisata Budaya.
Hal ini mengundang tepuk tangan yang meriah serta decak kagum dari para hadirin yang terdiri dari tokoh dan masyarakat adat Jawa Barat. Tidak ada yang salah dari hal tersebut.
Normal-normal saja (pencanamgan/rencana) penanaman 25 juta pohon, mengingat menurut laporan dinas kebencanaan Jawa Barat, jumlah bencana di Jawa Barat pada 2019 mencapai 1.700 kejadian. 60% bencana yang terjadi berurusan dengan permasalahan air.
Tentu penanaman pohon erat kaitannya dengan penyelesaian permasalahan air, sebab pohon dapat membantu penyerapan air, mencegah sedimentasi dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut, di Jawa Barat pernah ada aturan bagi pasangan yang akan menikah diwajibkan memberikan kontibusi 10 bibit pohon.
Bagi Jama’ah yang akan melaksanakan Ibadah Hajji diwajibkan untuk memberikan kontribusi 10 bibit pohon.
Memed Achmad Surahman atau biasa dikenal dengan panggilan Eyang Memet memberikan tanggapannya terkait peraturan tersebut pada tanggal 15 September 2020 di kantor perusahaan CV Walatra Desa Cibodas, Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung. Menurut beliau ada permasalahan terkait kewajiban memberikan 10 bibit pohon tersebut dari kedua bidang tersebut.
Anggap saja dalam satu tahun jumlah orang yang menikah di Jawa Barat ada 1000 orang yang menikah. Lalu misalkan ada 1000 orang yang akan pergi berangkat Haji, artinya seharusnya bisa didapat 10.000 pohon dari 1000 pasangan yang menikah serta 10.000 pohon dari 1000 orang yang akan pergi melaksanakan Ibadah Haji.
Menurut perhitungan Eyang Memet, 10.000 pohon jika ditanam dengan pola tanam 3 x 3,5 meter, maka akan cukup untuk menghijaukan 10 hektare lahan.
Eyang pernah berkunjung ke Kantor Urusan Agama dan menanyakan tentang bagaimana pengelolaan bibt pohon yang didapatkan dari pasangan yang akan menikah dan Jema’ah yang akan melaksanakan Haji. Beliau bertanya, bibit ini ditanam dimana, sebab menurut perhitungan beliau, setidaknya dalam setahun harusnya minimal terkumpul 10.000 bibit dan jika ditanam dengan benar seharusnya bisa menghijaukan 10 hektare lahan.
Orang KUA tidak bisa menjawabnya, mereka menjawab bahwa betul bibit diterima dan disimpan, lalu bibit diberikan kepada lembaga dan pihak-pihak lainnya yang membutuhkan bibit.
Ini masalah, karena transparansi dan kejelasan penanaman tidak jelas. Artinya ada yang salah dalam Monitoring dan Evaluasi. Hal-hal seperti ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak sehat.
[ dimana hutannya ? ]
Dari tingkat kerepotan dalam mencari bibit bisa saja, pasangan yang akan menikah atau jama’ah Haji akan berangkat Ibadah Hajji berkata
“ ah repot, berapaan sih harga sepuluh bibit ? ”
Yaa kurang lebih, jika dikalkulasikan menjadi Rp 50.000. Karena kondisinya sedang senang dan tidak mau repot, maka Rp 50.000 tidak seberapa.
Lalu bibit pohon yang akan ditanam hutannya kemana ?
Selain daripada itu, jika berbicara terkait “repot” dalam perkara penanaman pohon, Eyang berpendapat baru pengadaan bibit saja (belum ditanam) serta belum dipelihara tingkat kerepotannya baru mencapai 30%.
Anggap saja semua bibitnya hidup semua, dipotong oleh bibit yang tidak hidup, anggap saja setengahnya, jadi turun menjadi 15%.
Progres mana yang mahal ?
Perawatan, sebelum bibit ditanam harus dirawat dulu, sebelum ditanam harus dibuat lombangnya dulu, harus diberikan juga pupuk kandang sebagai “jadup”, jaminan hidup untuk pohon yang baru ditanam.
Anggap saja anda mempunyai anak, si anak disuruh pergi merantau ke Jakarta tanpa tahu apapun tentang Jakarta, selama 3 bulan pertama yaa diberikan pembekalan dulu (uang) untuk kebutuhan hidupnya.
Hal yang cukup meresahkan Eyang adalah ketika suatu pihak mengadakan sejumlah bibit, dianggap sebagai pihak yang paling peduli tentang lingkungan.
Padahal jika dihitung secara progres baru mencapai 15 – 20 %.
Anggap saja hidup semua, maka hanya mencapai progres 30 %.
Eyang mengajarkan bahwa untuk menanam pohon dalam hitungan hari ini (16 September 2020), maka anggaran yang dianggarkan pemerintah mencapai
Rp 30.000 – Rp 32.000. Perhitungan Eyang cukup dengan Rp 15.000, itu dengan pemeliharaan selama 6 bulan.
Rincian Rp 15.000 mencakup harga bibit
Rp 4.000, menanam yang baik dan benar Rp 2.000 meliputi dari awal membuat lobang 30 cm x 30 cm, ajir dan kotoran domba.
Sisa Rp 9.000 dianggarkan untuk pemeliharaan selama 6 bulan supaya memastikan pohon yang ditanam hidup semua.
Dapat disimpulkan proses yang paling mahal adalah pemeliharaan.
Jadi, jika ada pihak-pihak yang ribut/klaim atau dalam artian menyombong telah memberi/mengadakan bibit mau sebanyak apapun, progress yang ternilai baru 30 %. Hal yang disayangkan, situasi dan keadaan dibuat seolah-olah dengan mengadakan bibit dianggap sebagai pihak yang paling peduli dengan lingkungan, ini sebaiknya kita jadikan pembelajaran untuk kita.
Cimahi, Kamis, 17 September 2020
-Rizal Ul Fikri CJI
No Responses