Memori dari seorang Rizal Ul Fikri Part 2


Kita menyepakati bahwa otak kita sangat luar biasa dalam mengingat dan melupakan. Izinkan saya, Rizal Ul Fikri menceritakan apa saja yang sudah saya lakukan dengan otak selama kurang lebih 20 tahun hidup di dunia.
Saya mengawali kehidupan saya di dunia (diluar alam Rahim) sebagai manusia pada tanggal 31 Januari 1999. Saya ingat betul, sangat tidak berdaya, lemah dan tidak bisa melakukan apapun kecuali menangis. Seiring berjalannya waktu, saya mulai bisa membedakan gelap terang menggunakan mata.
Saya merasakan sentuhan berbagai bagian kulit baik yang menyentuh tangan maupun wajah.
Saya merasakan rasa berbagai benda yang masuk maupun dimasukan ke mulut saya.
Saya mendengarkan bagaimana suara-suara orang orang disekitar saya dan mencoba mengenali suara ayah dan ibu.
Pembelajaran terus berlanjut seiring berjalananya waktu. Saya belajar berkomunikasi, menggunakan mulut untuk mengucapkan berbagai kata. Saya belajar menggunakan kaki dan tangan untuk bergerak dan berjalan.
Otak saya selalu dipenuhi dengan berbagai informasi, mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak.
Hingga pada sa’atnya, saya diajarkan untuk hidup di masyarakat. Saya dipersiapkan, salah satunya dengan orang tua memasukan ke sekolah.
Saya masih ingat betul, bagaimana merasakan ketakutan dan ketegangan sa’at hari pertama sekolah. Saya menjalani pendidikan SD di SD Pelita Nusantara International School.
Saya belajar berkenalan dengan berbagai tipe dan kepribadian orang, saya belajar berteman.
Selain itu, saya mempelajari berbagai pelajaran yang tidak tahu untuk apa, guru bilang ini akan berguna, hal tersebut merupakan ilmu pengetahuan. Saya mengisi memori otak dengan berbagai ilmu pengetahuan dan memori dengan teman-teman, sungguh masa-masa yang indah.
Saya ingat, jika saya adalah siswa yang baik, tidak ada masalah kecuali keingintahuan yang besar dan keberanian dalam mendebat pihak-pihak yang tidak sejalan dengan saya.
Saya mempelajari bahwa teman-teman di SD kebanyakan (hampir semua) berasal dari keluarga yang kaya raya. Disanalah saya menyadari, saya berbeda.
Ayah saya adalah seorang sopir truk di sebuah pabrik tekstil dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya bisa masuk ke SD tersebut karena informasi beasiswa yang diberikan Oma Ries (adik nenek saya) dan keberhasilan saya lolos tes beasiswa tersebut. Saya tidak bisa mengejar standar mereka karena berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Maka dari itu saya mengejar standar mereka di arena yang bisa saya kuasai, saya berjuang di jalur akademik, saya membuktikan bahwa saya bisa setara dengan mereka dalam urusan pembelajaran.
Sekolah semakin lama semakin kompleks, saya mengalami ‘culture shock’ ketika berpindah dari Sekolah Dasar Swasta ke SMP Negeri. Hari pertama saya sudah digulung (dikeroyok).
“ Paku yang menonjol akan dipake, 99.”
Itulah saya, membawa arogansi dan keberanian berpendapat yang saya dapatkan dari Sekolah Dasar ke dunia SMP, dimana kekuasaan didapatkan dengan kemampuan fisik dan atau kemampuan finansial.
Saya belajar dari awal lagi, bagaimana seharusnya berkomunikasi, berteman, bersosialisasi di lingkungan sekolah negeri. Hasilnya, saya bisa berteman dengan baik dan belajar dengan baik. Tidak banyak yang istimewa dari masa SMP saya. Saya ingat, pernah dipanggil ke ruang BK karena urusan perkelahian, yaa di masa SMP saya cukup barbar sering mengikuti kegiatan tawuran antar kelas.
Secara mengejutkan, ketika saya kelas 8, kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai. Hal tersebut lumayan menyakitkan karena sejak sa’at itu saya tidak menjalani kehidupan seperti keluarga biasa pada umumnya.
Saya dan adik dipindahkan ke rumah nenek di Cibeureum dan dididik oleh nenek saya sambil membiarkan kedua orang tua menyelesaikan urusannya.
Masa SMA tidak jauh berbeda, sejak perceraian kedua orang tua, saya terbiasa untuk melakukan berbagai hal sendiri. Pembelajaran menjadi relatif lebih sulit dan urusan pertemanan menjadi lebih rumit. Banyak drama yang terjadi dan kebanyakan terkait permasalahan percintaan.
Saya berkelahi dan mendapatkan 8 jahitan di kepala hanya karena urusan percintaan SMA.
Jujur sa’at ini saya merasa bodoh mengingat bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Saya diberkahi teman-teman yang baik dan lingkungan yang suportif.
Di masa SMA, otak kita diajarkan untuk bermimpi setinggi langit. Semua siswa ingin keterima di ITB atau UNPAD dan sekolah kedinasan. Ada yang berhasil, banyak pula yang gagal.
Saya termasuk dalam golongan yang gagal masuk PTN dan Sekolah Kedinasan yang saya kehendaki. Disanalah otak saya mempelajari tentang bagaimana pahitnya ditolak dan bagaimana menerima nasib.
Kegagalan saya dalam seleksi masuk STAN merupakan salah satu hal yang cukup menyedihkan untuk diingat, teman-teman seperjuangan saya yang keterima ibarat menambah garam di atas luka.
Saya belajar tentang iri hati dan denki, segalanya nampak ambyar sebab kita diajarkan seolah-olah kuliah seseorang mempengaruhi jenjang karir dan kehidupan seseorang. Saya marah, sedih dan kecewa.
Yaa pada akhirnya agama adalah salah satu jalan yang baik untuk menenangkan diri,… saya percaya Allooh mempunyai scenario yang lebih baik untuk karir dan kehidupan.
Alhasil saya berhasil lolos seleksi masuk Politeknik Negeri Bandung di program studi D3 Usaha Perjalanan Pariwisata.
Segala pembelajaran diawali dari dasar-dasar ilmu pariwisata dan pelayanan. Meskipun bukan jurusan yang saya banget, terpaksa mengikutinya sebab saya secara sadar memilih jurusan tersebut ketika tes seleksi masuk.
Dari keterpaksaan, saya menjadi bisa. Dari bisa melakukan, saya mulai terbiasa hingga saya berhasil menyelesaikannya pada tahun 2020.
Ini semua adalah bagaimana saya mengakses informasi dari otak dan mencoba untuk menuliskannya menggunakan Microsoft word. Banyak bagian yang belum tersampaikan serta bagian cerita yang belum terceritakan dengan baik.
Menulis merupakan salah satu aktivitas yang baik untuk otak, sebab menulis melibatkan kelima panca indera kita untuk mencari informasi, menggabungkannya dengan informasi yang kita miliki di otak kita, serta mengkombinasikannya dengan perasaan yang kita miliki.
Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi sesuai dengan kata R.A Kartini bahwa menulis adalah mengabadikan. Saya ingin diabadikan dan dikenal dalam sejarah, oleh karena itu saya belajar menulis.
Meskipun belum menjadi siapa-siapa, setidaknya saya sudah berlatih untuk menjadi siapa-siapa dengan cara menuliskan eksistensi keberadaan saya, meskipun hanya meninggalkan jejak digital.
Cimahi, Rabu, 16 September 2020
-Rizal Ul Fikri CJI
No Responses