Ritual Tidak Spiritual Dalam Film Pendek ‘Topo Pendem’ Karya Imam Syafi’i


Oleh : Irvan Achmad Fadilah
Indonesia merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya beragama. Bahkan, Indonesia merupakan negara yang masyarakat pemeluk agama Islamnya paling banyak di dunia. Dengan fakta demikian, seharusnya keributan, pertengkaran, fitnah, dzalim, dan hal buruk lainnya tidak terjadi di Indonesia karena masyakat Indonesia adalah umat beragama.
Kenapa hal-hal buruk demikian sering terjadi ?
Menurut KH. Buya Syakur Yasin. MA, dalam acara dialog Tuhan Maha Asyik bersama Sudjiwo Tejo pada tanggal 7 bulan Juli 2020 yang bisa dilihat di media youtube, masyarakat Indonesia khususnya Muslim Indonesia terjebak dalam agama ritual, bukan agama spiritual.
Dalam film pendek ‘Topo Pendem’ (2018) yang bercerita seorang bapak yang ingin mengobati penyakit anaknya yaitu penyakit autis dengan cara melakukan ritual topo pendem atau bisa dibilang bertapa di liang lahat dengan waktu tertentu. Ritual ini bukan hanya fiktif belaka dalam realita di masyarakat.
Contohnya adalah mbah Sutarto, warga Kebaksari, Desa Kebak, Kecamatan Kebakkramat, Karanganyar, Jawa Tengah yang melakukan ritual topo pendem selama lima hari pada bulan Desember 2014. Mbah Sutarto melakukan ritual dengan maksud agar anak cucunya diberi keselamatan dan kebahagiaan.
Apa artinya do’a jika tidak dibarengi usaha ?
Penyakit autis bukanlah kelainan seumur hidup. Psikiater dan pemerhati autisme, dr. Kresno Mulyadi, Sp. K.J. menyatakan bahwa autis dapat disembuhkan melalui terapi intensif nan terpadu dan diet khusus bagi penyandangnya.
Tokoh anak dalam film ‘topo pendem’ pun pada akhirnya tidak sembuh walaupun si bapak sudah melakukan ritual topo pendem. Mungkin jika tokoh bapak membawa anaknya ke psikiater, tokoh anak kemungkinan sembuhnya lebih besar.
Tapi jika ceritanya begitu, maka filmnya bukan berjudul ‘topo pendem’ pastinya hehehe.
Hemat saya, di Indonesia dewasa ini, autis di masyarakat bukanlah autis seperti pada tokoh anak dalam film ‘topo pendem’, melainkan masyarakat yang tidak memperdulikan keadaan sekitar, tidak peka terhadap masalah sosial dan hanya mementingkan apa yang terjadi di dalam gawai yang ada di genggaman.
Kenapa demikian ?
Jika kita lihat secara etimologi, kata autis berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘Autos’ yang memiliki arti sendiri atau seolah-olah hidup di dunianya sendiri.
[ Sangat tepat dengan kondisi mayarakat Indonesia hari ini, terkhusus generasi mudanya yang sebagian besar sudah masuk dan mengidap kondisi ‘autis’ akut yaitu sudah tidak peduli pada keadaan sekitar dan alam lingkungannya.
Pandemi Covid-19 telah memberi legitimasi bahwa hidup harus sendiri dan semua aktivitas wajib dilakukan hanya lewat digital/gadget/hp/laptop ]
Ritual jika tidak dibarengi spiritual merupakan hal yang kurang baik. Beribadah itu harus dilakukan secara khusyuk. Ibadah yang khusyuk bukan dengan menundukkan kepala, memejamkan mata dan tidak bergerak-gerak dalam waktu yang lama. Ibadah yang khusyuk adalah ibadah yang dapat diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari pada kehidupan bermasyarakat. Kita selalu sibuk untuk berebut kulit kacang tetapi kacangnya tidak pernah diperebutkan.
Bandung, Rabu, 8 Juli 2020
Irvan CJI
No Responses