Asyiknya Bermain Layang-Layang


Layang-layang merupakan sebuah permainan tradisional yang ada di Indonesia khususnya. Terbuat dari lembaran tipis berkerangka bambu yang diterbangkan ke udara (langit) dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan sebagai pengendali. Biasanya, mulai di terbangkan di bulan-bulan Juni atau Juli karena anginnya cukup baik (musim kemarau).
[ Taukah sejarah layang-layang ? ]
Catatan pertama menyebutkan permainan layang-layang adalah dokumen dari China pada sekitar 2500 sebelum masehi (SM). Sedangkan penggambaran layang-layang tertua adalah dari lukisan gua periode mesolitik di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara yang telah ada sejak 9500-9000 tahun sebelum masehi (SM).
Lukisan tersebut menggambarkan layang-layang yang disebut kaghati yang masih digunakan oleh orang-orang Muna modern. Layang-layang terbuat dari daun kolope (umbi hutan) untuk layar induk, kulit bambu sebagai bingkai dan serat nanas hutan yang dililitkan sebagai tali. Meskipun layang-layang modern menggunakan senar sebagai tali.
Diduga terjadi perkembangan yang samping bebas antara China dan di Nusantara karena di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif layang-layang yang terbuat daru daun-daunan. Di kawasan Nusantara sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah Melayu abad ke-17 yang menceritakan suatu festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Dari China, permainan layang-layang menyebar ke barat hingga kemudian populer di Eropa. Layang-layang terkenal ketika dipakai oleh Benjamin Franklin ketika ia tengah mempelajari petir.
Terdapat beberapa tipe layang-layang permainan. Kalau di Sunda dikenal dengan istilah maen langlayangan.
Yang paling umum adalah layang-layang hias dan layang-layang aduan.
Terdapat pula layang-layang yang diberi sendaringan yang dapat mengeluarkan suara karena hembusan angin.
Layang-layang laga biasa dimainkan oleh anak-anak pada masa pancaroba karena kuatnya angin berhembus pada saat itu.
Di beberapa daerah Nusantara, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu, kemudia diikat dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di Sulawesi.
Diduga beberapa bentuk layang-layang tradisional asal Bali berkembang dari layang-layang daun karena ovalnya yang menyerupai daun.
Di Jawa Barat, Lampung dan beberapa tempat lain di Indonesia, layang-layang digunakan sebagai alat bantu memancing. Layang-layang ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu dan dihubungkan dengan mata kail.
Di Pangandaran dan beberapa tempat lain misalnya, layang-layang dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.
Penggunaan layang-layang sebagai alat bantu penelitian cuaca telah dikenal sejak abad ke -18.
Contoh yang paling terkenal adalah Benjamin Franklin menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci untuk menunjukkan bahwa petir membawa muatan listrik.
Layang-layang raksasa dari bahan sintetis sekarang telah diuji coba menjadi alat untuk menghemat penggunaan bahan bakar kapal pengangkut. Pada saat angin berhembus kencang, kapal akan membentangkan layar raksasa seperti layang-layang yang akan menarik kapal sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.
Sayangnya, banyak pemuda di Indonesia yang memainkan layang-layang di dekat atau di atas gardu listrik. Padahal jelas, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2019 tentang Ruang Bebas dan Jarak Bebas Minimum pada Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) menyebut larangan membangun bangunan dan menanam tanaman yang memasuki ruang bebas minimum serta dilarang bermain layang-layang dengan menggunakan benang konduktif di sekitar jalur transmisi.
Jombang, Rabu, 8 Juli 2020
Manda CJI
No Responses