banner 728x90

Generasi Sembilan Puluhan

Generasi Sembilan Puluhan

Di Indonesia, anak yang lahir pada periode 1990 hingga 1999 disebut Generasi Sembilan Puluhan.
Generasi ini sangat merasakan bagaimana rasanya hidup di era ‘Baby Boomer’, era transisi hingga era ‘Internet of Things’.

Perubahan sangat terasa, dari sebelum adanya internet hingga internet yang sudah menjadi bagian penting dunia, dari internetan di warung internet (warnet) yang Rp 2.000/jam hingga internetan di ‘smartphone’ berjam-jam. Merasakan bagaimana musik masih terasa sangat puitis dari penyanyi lawas, band rock yang menggunakan setelan hitam rambut gondrong konser di Stadion hingga musik pada era kini yang hampir seluruh komponennya didigitalisasi dengan lirik sampah.

Pergeseran makna lagu sangat terasa sekali, liriknya pun mayoritas seputar cinta-cintaan yang menurut saya pribadi alay.

[ pada era sebelumnya dikenal dengan istilah
‘Lagu-Lagu Cengeng’ ]

Merasakan bagaimana rasanya punya masa kecil. Dunia anak saat ini nampaknya terlalu sibuk di dunia maya dari belajar hingga bermain disana sampai nampaknya jarang merasakan bermain di dunia nyata.
Generasi 90an dulu masih sempat merasakan menjalankan permainan di dunia nyata, aktivitas fisik dan permainan kolektif yang melibatkan banyak orang.

Dahulu lahan kosong banyak tersedia, sehingga berbagai permainan fisik yang melibatkan banyak orang bisa dilaksanakan. Biasanya suatu lapang dikuasai oleh satu barudakan, sejenis gangster anak-anak.

[ mereka masih bisa menggunakan lahan kosong untuk bermain dan berolah raga, sepak bola atau ‘maen bal’ (istilah Sunda) ]

Cara mengumpulkan orangnya pun seru, sebab satu persatu orang dijemput dari kediamannya masing masing. Penjemputan ini istimewa, sebab hanya sampai di gerbang dan di ‘sampeur’ menggunakan nada yang khas bergantung dari nama orang yang ‘disampeur’.
Kadang harus sedikit berkonfrontasi dengan orang tua orang yang ‘disampeur’, sebab orang tua menghendaki anaknya untuk melaksanakan tidur siang.

Kadang ‘sampeur’-an yang dilakukan dibalas juga oleh orang tuanya secara langsung.
Misal ‘nyampeur’ anak bernama Rizky,
“iikiiiii………”
dan dijawab oleh orang tuanya,
“ikinya gak main, gak ada sendal.”

Permainan semacam galah asin, sorodot gaplok, ucing sumput, ucing beunang, kaleci dan layangan merupakan aktivitas luar ruangan yang rutin dilakukan hampir setiap hari, dengan slogan
“pantang pulang sebelum magrib”.
Sebab anak-anak di masa itu, bermain di luar hingga lupa waktu, sampai menjelang (adzan) Maghrib selalu dicari oleh orang tuanya untuk disuruh mandi dan bersiap melaksanakan Shalat Maghrib dan belajar membaca ayat suci (mengaji) Al Qur^an di surau (musholla) dengan pak Udztad dan pak Haji.

[ sebuah kondisi yang mengajarkan kepada anak-anak supaya selalu ‘aware’ peduli pada sesama teman, lingkungan tempat bermain dan Tuhan Sang Maha Pencipta ]

Sekarang, pada tanggal 15 April 2020 dunia menjadi tempat yang relatif membosankan. Tidak ada lagi anak yang bermain di lapang. Anak-anak dari 2000an keatas sangat akrab dengan ‘gadget’. Mereka biasa bermain disitu, memainkan game online yang merusak mata dan menghabiskan waktu yang banyak. Tidak ada lagi ‘sampeur’, yang ada hanya ngajak Mabar (main bareng) itupun melalui messenger.

Aktivitas permainan bergeser dari lapangan ke rumah masing-masing. Lahan kosong yang biasa dipakai bermain sudah disulap menjadi perumahan.

[ Dunia gadget dan internet telah merenggut segalanya ]

Yaa, setelah merasakan banyak hal yang berubah dengan cepat dari 90an hingga 2020, saya baru menyadari sesuatu. Generasi 90an di periode kelahirannya diiringi dengan kerusuhan dan krisis ekonomi.

Selama sekolah mengalami bongkar pasang sistem pendidikan, menjadi kelinci percobaan atas berbagai kurikulum yang katanya untuk kemajuan Sumber Daya Manusia yang lebih baik.
Pindah berkala dari Kurikulum 2006 KTSP, Kurikulum 2013 hingga Kurikulum di tahun 2015..

[ dunia pendidikan tidak Memberikan harapan hidup lebih baik ]

Merasakan rasanya dipimpin oleh 5 Presiden (Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY & Jokowi) dan beberapa Menteri Pendidikan yang silih berganti.
Hingga pada 2020 ini, terjadi pandemi Covid-19 yang menyebabkan segala aktivitas dialihkan ke rumah. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.

Generasi 90an tingkat akhir (1997-1999), mayoritas saat ini (2020) sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir dan sedang menyelesaikan tingkat akhir. Hal ini menyebabkan bimbingan, sidang akhir hingga wisuda dilaksanakan secara daring / online. Generasi ini akan menjadi generasi pertama dan mungkin satu-satunya yang melaksanakan drama perjuangan mahasiswa tingkat akhir secara daring.

[ Apakah semua kehidupan nyata bakal tergantikan oleh dunia maya (daring) ? ]

Yaa, tidak ada dimarahin oleh pembimbing secara langsung, tidak ada draft laporan di coret-coret di depan muka, tidak ada ngeprint laporan akhir yang mencapai 70-80 lembar bahkan lebih, tidak ada laporan dibuat cantik-cantik dengan hard cover yang menguras biaya, tidak ada acara selebrasi dan border wisuda.

Yaaa selalu ada kata pertama untuk segala hal, yang penting tetap mau belajar dan berusaha untuk mengatasinya.

Bandung, Sabtu, 18 April 2020

-Rizal CJI

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan