banner 728x90

Sustainable Tourism

Sustainable Tourism

Pernah Dengar ‘Sustainable Tourism’ ?

Ya, jika dialih bahasakan ke (dalam) bahasa Indonesia menjadi pariwisata berkelanjutan.
Pariwisata adalah perpindahan orang dari suatu destinasi ke destinasi lain untuk melakukan kegiatan pariwisata. Berkelanjutan yang dimaksud adalah bahwa kegiatan pariwisata yang terjadi bisa dinikmati di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Konsep ‘Sustainable Tourism’ sendiri sudah ada sejak 1987, berawal dari kekhawatiran Robert Malthus terhadap populasi penduduk yang mengakibatkan kekurangan lahan di negaranya.

Pada 1987, terbit buku ‘Our Common Future’ oleh WCED yang menjadi tonggak sejarah pembangunan ekonomi di segala bidang yang diharapkan memiliki sisi pembangunan berkelanjutan dan memberi sumbangsih terhadap keberlangsungan dan eksistensi sumber daya di masa yang akan datang, termasuk pada sektor pariwisata.

Konsep ‘Sustainable Tourism’ sendiri terdiri dari “Three Bottom Key” atau tiga komponen utama yaitu Ekonomi, Lingkungan dan Sosial Budaya.

Ekonomi artinya dari kegiatan pariwisata yang terjadi di suatu tempat dapat memberikan dampak ekonomi (finansial) langsung untuk masyarakat lokal.
Ditekankan sekali lagi, dampak ekonomi untuk masyarakat lokal, bukan pengusaha atau investor asing yang bukan asli berasal dari suatu daerah, sebab salah satu tujuan pariwisata adalah memberikan manfaat ekonomi, terccantum dalam Kode Etik Kepariwisataan.

Lingkungan artinya kegiatan pariwisata yang terjadi memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya termasuk binatang, tumbuhan, algae dan plankton sekalipun.

Mengapa ?

Supaya kegiatan pariwisata tetap dapat berlangsung, maka apa saja yang bisa dinikmati pada hari ini, tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang di masa depan.
Perlu diingat bahwa bumi yang kita tinggali sekarang merupakan pinjaman, kita meminjam bumi ini dan seluruh lingkungan dan iklimnya dari generasi yang akan datang. Akan sangat tidak bijaksana apabila kita mengembalikan bumi ini dalam keadaan yang sudah rusak.

Lingungan disini juga meliputi sampah dan iklim. Dilansir dari CNN Indonesia, dalam setahun sampah yang dihasilkan dari kegiatan pariwisata di Bali mencapai 5.000 ton hingga 10.000 ton per hari dan terus meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2016, menurut data dari IATA (International Air Transport Association) 3,8 miliar orang bepergian menggunakan pesawat terbang, ini dapat menghasilkan kerusakan ozon yang besar akibat penggunaan/pembakaran avtur yang merupakan bahan bakar pesawat. Kerusakan ozon dapat membantu mempercepat pemanasan global yang nantinya akan berdampak buruk bagi berbagai aspek kehidupan manusial.

[ pemanasan global akan menyebabkan ilkim berubah secara ekstrim dan itu artinya kekeringan yang menjadi penyebab utama kekurangan pangan ]

Pernahkah terpikir untuk memberlakukan tarif penerbangan dengan biaya perbaikan iklim dari setiap penerbangan yang dibayarkan melalui tiket pesawat ?

Yaa saya rasa tidak banyak yang berfikir ke arah situ.

Terakhir, Sosial Budaya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan kultur dan budaya. Terdapat 34 Provinsi yang masing-masing provinsi memiliki keunikan suku, budaya, tradisi dan adat istiadat yang multi ragam.
Terdapat banyak kesenian tradisional dan nilai-nilai budaya yang luhur.
Akan sangat disayangkan apabila keragaman budaya tersebut hilang tergerus oleh globalisasi dan kemajuan zaman.

Sangat disayangkan apabila aktivitas budaya atau ritual-ritual yang dilakukan dengan nilai filosofis keluhuran nilai dikomersilkan sehingga kehilangan nilai.

[ yang terjadi adalah budaya transaksional ]

Pernahkah kita terfikir untuk menarik garis dan menelusuri asal mula mengapa konsep ini bisa muncul di dunia ?

Konsep ini ada sebab ada kerusakan di “Three Bottom Key” dari aktivitas kepariwisataan yang berlangsung hingga hari ini. Hal yang terfikirkan dan difikirkan oleh sebagian besar manusia, apalagi para pelaku pariwisata terutama pengusaha adalah bagaimana secara besar-besaran mengeksploitasi keadaan alam di suatu kawasan dengan hal yang sama sekali tidak ada kaitan dan hubungan dengan pemuliaan alam dan keasrian lingkungan.

Hal yang paling mainstream (mendasar) adalah mengubah kondisi alam atau meng-alih fungsikan sebagian besar atau seluruh kawasan supaya bisa menghasilkan ‘cuan’, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitar.
Label Go Green hanya sebatas slogan dan warna hijau.

Pada tanggal 6 November 2019, saya menghadiri National Tourism Seminar (NATOS) di STPB Bandung. Salah seorang pembicaranya adalah Dr. Endang Karlina, S.Hut, M.Si., seorang Peneliti Madya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Beliau menyampaikan salah satu solusi permasalahan di Pariwisata dengan Pengembangan Desa Wisata berbasis ‘Sustainable Tourism’.

Pengembangannya menggunakan prinsip ‘Economically Feasible’ (Kelayakan Ekonomi), ‘Environmentally Feasible’ (Kelayakan Lingkungan), ‘Socially Acceptable’ (dapat diterima secara sosial) dan ‘Technologically Appropriate’ (penerapan teknologi tepat guna).

Sasaran yang dituju adalah Kualitas Sumber Daya Lingkungan & Budaya, Kualitas Hidup Masyarakat dan Kualitas Pengalaman Pariwisata.
Variasi Model Pengembangan Desa Wisata bisa dibuat Desa Wisata Berbasis Daya Tarik Sosial Budaya, Desa Wisata Berbasis Daya Tarik Alam, Desa Wisata Berbasis Kuliner Khas atau Desa Wisata Berbasis Home Industry atau gabungan dari semuanya.

Hal ini sudah berhasil dibuktikan oleh beberapa kampung adat di Jawa Barat macam Kampung Badui di Banten dan Kampung Naga di Tasikmalaya yang telah berhasil mempertahankan “Three Bottom Key” dengan baik.

Semoga ke depannya, pengembangan pariwisata bisa lebih baik lagi dan mungkin dengan konsep-konsep baru yang bisa memuliakan alam dan berbasis pelestarian lingkungan.

Cimahi, Minggu, 29 Maret 2020

  • Rizal CJI
banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan