Sajak-Sajak Choi, Jun: Kenelangsaan Tanpa Sang Ayah

Oleh : Irvan Achmad Fadilah CJI
Karya sastra Korea di Indonesia tidak banyak dikenal. Di Indonesia, masyarakat lebih kenal pada fenomena Korean Wave (K-Wave) atau yang dikenal dengan nama Hallyu, mulai masuk ke berbagai negara di Asia dan meluas seiring berkembangnya kecanggihan teknologi dan akses internet yang semakin mudah di era globalisasi ini. Hal ini membuat persebaran budaya tak lagi mustahil dengan adanya platform seperti Youtube, Facebook, Twitter dan masih banyak lainnya. Melalui sejarah yang panjang, Korean Wave berhasil memperkenalkan budaya Korea Selatan. Mulai dari drama, musik, makanan, fashion dan hal-hal lainnya, kini kebudayaan Korea semakin dikenal oleh dunia dan menjadi bagian lekat dari kehidupan masyarakat negara-negara lain termasuk Indonesia sendiri.
Menurut data dari Korea Tourism Organization (KTO), pada tahun 2008, jumlah pengunjung asal Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan tercatat sebanyak 80.000 dan semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan, pada tahun 2017, data tersebut sudah mencapai 230.000 pengunjung. Hal ini menunjukkan betapa besarnya antusiasme masyarakat Indonesia pada Korea Selatan, khususnya setelah masuknya Korean Wave ke Nusantara.
Drama Jewel in the Palace (2003) menjadi bukti perkembangan Korean Wave di Indonesia. Jika membahas Korean Wave atau Hallyu, pastinya istilah tersebut sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Korean Wave sendiri merupakan nama dari fenomena populernya kebudayaan Korea di berbagai belahan dunia. K-Wave mulai masuk ke berbagai negara di Asia pada akhir tahun 1990-an.
Pada awalnya, K-Wave menargetkan pasar China untuk menyebarkan budaya tersebut. Akhirnya setelah hal tersebut berhasil dikenal di China, mulailah Korean Wave melebarkan sayapnya ke negara Asia lainnya seperti Jepang hingga ke negara-negara Asia Tenggara.
Di Indonesia sendiri, Korean Wave sudah mulai dikenal sejak awal tahun 2000-an setelah sebelumnya industri entertainment dan televisi Indonesia dihiasi oleh tayangan-tayangan dari Jepang (ex: One Litre Of Tears (2005)) dan Taiwan (ex: Meteor Garden (2001)). Kemunculan Korean Wave pertama kali ditandai dengan kehadiran drama-dramanya yang berhasil memikat penonton Indonesia. Jewel in the Palace (2003) merupakan salah satu drama yang paling terkenal di Indonesia.
Anehnya, Korean Wave seperti tidak membawa kesusastraan Korea ke Indonesia melainkan hanya drama-drama atau boy band dan girl bandnya saja yang heboh di Indonesia.
Mulai dari EXO, Red Velvet, Twice, Blackpink, Goblin dan lain sebagainya.
Namun semenjak berbagai universitas membuka jurusan dan pengajaran bahasa Korea, perlahan pemahaman dan minat akan sastra dan bahasa Korea meningkat. Karya pertama sastra Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebuah antologi cerpen berjudul Kumpulan Cerpen Korea: Laut dan Kupu-kupu terbitan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007.
Lalu pada tahun 2019, Nenden Lilis Aisyah, dosen bahasa dan sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia yang karyanya sudah bisa dibilang karya sastra kelas wahid yang melanglang buana ke mancanegara bersama Kim Young Soo, menerjemahkan karya penyair Korea, Choi, Jun, Orang suci, Pohon Kelapa yang terbit atas dana bantuan bagi penciptaan karya sastra dari Arts Council Korea tahun 2007.
Penyair Choi, Jun yang pernah tinggal di Indonesia selama lima tahun yaitu dari tahun 2000 sampai 2005 ini menuangkan imajinasi dan pengalamannya dalam tulisan-tulisan individual yang menceritakan apa yang dilihat si penyair. Banyak judul yang menggunakan kata tempat dimana si penyair mengunjungi tempat tersebut dan mengekpresikan pengalamannya, contohnya sajak “Pisang di Pulau Jawa”, “Hotel Gran Melia”, “Tangerang”, “Kenangan, Cibubur”.
Pada sajak “Tangerang” sangat jelas penggambaran keadaan penyair pada apa yang terjadi di Tangerang pada waktu itu. Dapat dilihat pada penggalan sajak berikut : Hanya tampak atap / yang ternyata ruang hampa, lebih luas daripada atap / Pabrik pakaian tutup / Taka da pemiliknya / Pos satpam yang kosong dipenuhi ilalang //.
Lalu penyair pun seperti terbawa suasana suram muram yang tampak pada larik terakhir sajak ini yakni : Hingga ke manakah aku harus terseret pergi ?.
Puisi-puisi seperti ini bisa dibilang puisi lirik.
Puisi lirik ialah puisi yang menekankan pentingnya mempengaruhi perasaan pembacanya. Puisi jenis ini mengajak pembaca ikut merasakan suasana batin penyairnya, sehingga sering disebut dengan puisi suasana hati.
Dalam sajak “Kenangan, Cibubur”, penyair menggambarkan seolah-olah dunia menjadi berbeda setelah kematian ayahnya. Penyair merasa bahwa hidup tidak berjalan dengan normal karena semangat bangun pagi, sarapan telah pupus setelah kematian ayahnya.
Dalam larik pertama yaitu Rumah ayah rumah tanpa ayah seperti memberitahu bahwa si ayah penyair mempunyai rumah di Cibubur yang tak lagi ditempati si ayah. Sajak ini perenungan si penyair terhadap kematian sang ayah.
Sajak yang kental dengan keputusasaan si penyair terhadap ayahnya yang telah mati terdapat pada sajak “Nyanyian Kambing Papa” pada larik :
Tak ada Ayah yang menaiki sepeda / membuatku ingin tersesat jalan lama sekali//. Penyair seolah-olah sudah tidak perduli dengan kehidupan yang sedang dijalaninya saat itu.
Hal ini menimbulkan penyair tidak percaya pada konsep “after life” atau kehidupan setelah kematian yang mana pergi ke akhirat lalu ke surga atau neraka. Ia percaya bahwa setelah mati penyair hidup kembali, tetapi dalam raga berbeda, raga hewan atau tumbuhan.
Hal ini dibuktikan dalam larik pertama sajak ini yaitu
Aku hidup sambil menunggu reinkarnasi.
Dari uraian diatas, maka dapat dijabarkan bahwa pada sajak yang dijadikan judul buku
“Orang Suci, Pohon Kelapa”, si orang suci bodoh itu ialah si penyair itu sendiri yang berkunjung ke sebuah kuburan tanpa berdo’a selama tiga puluh musim kemarau yang mana itu adalah kuburan ayahnya.
Kumpulan sajak-sajak yang merepresentasikan si penyair pada kenelangsaan yang dialami karena ketiadaan sang ayah. Membaca sajak-sajak Choi, Jun seperti menjalani hidup di Indonesia dengan kemuraman tanpa seseorang yang kita sayang dan realita-realita kehidupan Indonesia di tahun 2000 sampai 2005 khususnya di pulau Jawa.
Bandung, Sabtu, 1 Februari 2020
No Responses