banner 728x90

Ketua Kelas dalam Perspektif Perguruan Tinggi

Ketua Kelas dalam Perspektif Perguruan Tinggi

Dalam sebuah Perguruan Tinggi, terdapat hirarki dari mulai Rektor/Direktur, Pembantu Rektor/Direktur, Ketua Jurusan, Ketua Program Studi hingga Dosen Wali kelas.

Sudah di level Dosen Wali kelaspun, biasanya Dosen Wali masih berkoordinasi dengan Ketua Kelas. Ketua Kelas pun masih mempunyai organisasinya sendiri di dalam kelas untuk melancarkan kegiatan operasional kelas.
Entah dari jabatan standar semacam sekertaris, bendahara, seksi alat tulis hingga jabatan yang sedikit tidak umum seperti penanggung jawab dosen, seksi fotokopi, tim teknis, tim IT dan lain-lain.

Banyak hal yang sering tidak disadari, Jabatan Ketua Kelas sering dihindari dan cenderung disepelekan. Hal ini terjadi karena karakteristik bangsa Indonesia yang bersifat kolektifitas. Segala hal dikolektifkan dan diurus oleh satu orang atau suatu satuan kerja untuk kepentingan bersama.

Misal ada seorang dosen yang memberi bahan ajar untuk di fotokopi, maka proses fotokopi yang terjadi akan dikoordinir oleh satu orang. Padahal, secara teknis setiap orang bisa melakukan fotokopi bahan ajar sendiri, tapi entah disadari atau tidak dengan alasan agar tidak repot maka proses fotokopi dilakukan dengan dikoordinir. Hal inilah yang membuat banyak orang yang merasa enggan untuk menjabat sebagai ketua kelas, repot iya (pasti) dibayar enggak, masih untung dihormati dan didengarkan.

Banyak mahasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas diperlakukan sebagai tumbal, sebagai pelayan, sebagai pihak yang direpotkan atau istilah kerennya di kelas saya adalah “Kacung Prodi”.

Makanya setiap pemilihan ketua kelas banyak orang yang enggan dan gak mau ditunjuk sebagai ketua kelas. Tetapi tidak jarang suka ada saja mahasiswa yang mengajukan diri sebagai ketua kelas, entah didorong oleh insting kepemimpinan atau rasa kasihan melihat kondisi kelas atau mungkin oleh faktor lainnya.

Meskipun dilihat dari kondisi di lapangan banyak keadaan yang tidak mengenakan.
Jika menjabat sebagai ketua kelas, banyak hal yang dapat dipelajari dan didapat, maka bisa memanfaatkan kewenangan sebagai ketua kelas dengan baik.

Hal ini dapat diklasifikasikan sebagai ‘soft skill’ yaitu suatu keahlian/kemampuan di luar kemampuan teknis dan akademis yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Dengan menjadi ketua kelas, maka (mahasiswa) akan belajar manajerial skill dengan mengkoordinir segala kegiatan operasional dalam kelas.
Dengan mengkoordinir berbagai kegiatan, maka (mahasiswa) akan belajar ‘communication skill’ secara terapan/praktek yang pada dewasa ini menurut ‘World Economic Forum’ merupakan salah satu dari 10 besar keahlian yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Selain daripada itu, menjabat sebagai ketua kelas memberikan kesempatan untuk berkoordinasi dengan staf administrasi, staf rektorat, ketua prodi, dosen hingga ‘Office Boy’.
Hal ini memberikan kesempatan mendapatkan informasi yang bersifat eksklusif dimana tidak setiap orang bisa dapatkan, intinya bisa tahu lebih dulu tentang segala informasi yang berkaitan dan terjadi di kampus.

Segala sesuatu akan selalu memiliki dua sisi mata uang, itu semua tergantung bagaimana kita melihatnya. Pada hakekatnya, perguruan tinggi memang disiapkan agar mahasiswa bisa mudah hidup di tengah masyarakat.

Jadi apa salahnya menyiapkan diri untuk menjadi pejabat (yaa meskipun tidak semua orang kepingingin jadi pejabat) ?

Ini bisa dimulai dari pembelajaran di dalam kelas dengan menjabat sebagai ketua kelas.
Yaa meskipun keadaan di kelas tidak sepenuhnya selalu bisa disamakan dengan keadaan di dunia sebenarnya.

Mari kita mulai dulu saja.

#BeaLeader

#MulaiDuluAja

Bandung Barat, Kamis, 21 November 2019

-Rizal – CJI

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan