banner 728x90

Jangan Sampai Nasib ‘Maghoot’ Ngikuti (Nasib) Seniornya, Cacing !

Jangan Sampai Nasib ‘Maghoot’ Ngikuti (Nasib) Seniornya, Cacing !

Itu kunci ‘statement’ akhir saya ketika menyampaikan pandangan akhir pada sesi terakhir acara Bimtek hari kemarin untuk menanggapi seluruh paparan dari 6 kelompok diskusi.

Ada apa dengan cacing ?

Beberapa tahun yang lalu (sudah lama), Bandung Raya sempat dilanda ‘demam cacing’ dan ‘jangkrik’.
Yang menarik adalah harga cacing berawal dari sekitar Rp 15.000 per kg, dalam kurun waktu sekitar satu tahun mencapai harga Rp 150.000 per kg, sungguh fantastik dan fenomenal.

Namun, apa yang terjadi sebenarnya tidak seperti yang banyak diduga orang banyak.
Titik utama kesalahan yang dilakukan adalah salah ‘mind set’ atau salah niat dan sesat pikir.

Tujuan awal dikembangkannya budidaya cacing adalah murni untuk mengatasi masalah Sampah yang melanda khususnya Kota Bandung.
Sampah menggunung dimana-mana, sampai bilatung keluar dari tumpukan sampah.

[Kota Bandung dikenal sebagai Kota Sampah.
Ya, rumah Ibu saya dekat sekali dengan Pasar Cijerah, para bilatung pun sudah sampai ke depan rumah]

Jadi, sangat jelas tujuan utama dari budidaya cacing adalah untuk mengatasi masalah Sampah Organik.
Dalam perkembangannya justru yang sangat cepat bergerak dan ‘booming’ adalah pelatihan dan jual beli cacing.

Akibatnya semua komponen masyarakat berlomba beternak cacing, salah satu yang kena imbasnya adalah media beternak cacing yaitu ‘tai sapi’ (kohe), awalnya gratis dan jadi limbah, menjadi berharga dan harus dibeli.

Setelah cacing ‘booming’ dengan harga fantastis, di hampir setiap RW ada peternak cacing.
Ternyata ini jadi masalah besar, semua orang berlomba memproduksi cacing sebanyak-banyaknya, padahal pembeli utamanya (pabrik atau industri tidak ada), sehingga cacing hanya beredar di antara sesama pembudidaya.

Sudah dapat diduga, akhirnya harga cacing dengan cepat menukik turun, sampai tidak ada lagi yang mau beli cacing.

Hal terburuk yang terjadi adalah masalah utamanya justru jadi tidak diperhatikan yaitu sampah organik tetap jadi masalah berkepanjangan, numpuk sampai hari ini.

Jangan sampai nasib ‘Maghoot’ sama persis seperti nasib seniornya cacing.

Bagaimana caranya ?

Hanya satu cara, rubah ‘mind set’ tentang ‘Maghoot’.
Jangan pernah berfikir untuk jual belikan maghoot, tapi niatkan bahwa ‘Maghoot’ adalah salah satu cara untuk menghabiskan sampah organik di tempat (sumbernya).

Dari mana dapat manfa’at tambahan (bisnis) dari ‘Maghoot’ itu ?

Ini yang penting diluruskan, jadikan ‘maghoot’ sebagai bahan pakan (utama) para ternak yaitu ayam, ikan, bebek, itik dan burung.
Bisnis utamanya dari ternak, karena pakannya gratis (maghoot), maka harga ayam bisa sangat murah dan terjangkau sekali.

[Ayam Kampung saja bisa dijual dengan harga Rp 20.000 per ekor, inilah bisnis sejatinya]

Dari mana bibit ayam, ikan dan lainnya ?

Itulah tugas dari Dinas terkait yaitu Dinas Peternakan, Pertanian dan Ketahanan Pangan.

Semoga dengan dibudidayakannya ‘Maghoot’ dengan baik dan benar, dapat dengan cepat bisa menghabiskan sampah organik di tempat dan masyarakat umum bisa menjadi peternak ‘Ayam Kampung Komunal’ demi mencapai kesejahteraan dan Ketahanan pangan, aamiiin.

Bandung, Jum’at, 30 Agustus 2019

Muhammad Zaki Mubarrok Citizen Journalism Interdependen – CJI

Peserta Bimtek

banner 468x60

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan