QUO VADIS GENERASI MILENIAL?

“ Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran.” Ujar seorang penulis dan kartunis asal Amerika, James Thurber. Shakespeare, Einsteins, Maradona, John Nash, dan begitu banyak orang hebat yang kita idolakan, yang kita puja, kita tempel poster mereka di kamar manis kita, tapi apa yang kita bisa lihat dalam cermin? Nestapa, gundah gulana, penyesalan tak bertepi atau ketakbergunaan yang terngiang-ngiang? Hilang dari peradaban dan diacuhkan seakan tak pernah lahir? Kesadaran nurani, batiniah yang bahagia juga eksistensi tak pernah padam? Menjadi sejarah atau tergerus sejarah? Kehidupan terasa begitu tergesa-gesa seakan kapal harus kita kejar setiap saat. Pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan, menghantui diri kita, apa yang terjadi?
Apakah kita hanya akan menjadi penonton yang bahkan tak tahu apa yang kita tonton? Atau menjadi sebuah paradoks dari pertanyaan tersebut? Diingat, diperbincangkan, disertakan dalam berbagai argumen layaknya kebesaran Aristoteles ataupun Socrates. Menjadi seorang sutradara besar yang mengubah lalu mendobrak sebuah yang usang menuju cita-cita mulia, menuju peradaban yang berbaik hati pada semua orang, penyedia kebahagiaan yang tak pernah sirna.
Kita. Kita. Kita. Siapa yang dirujuk? Siapa yang disinggung? Sudah pasti kita, generasi Millenial. Generasi Y. Generasi transisi. Generasi masa depan. Generasi emas. Tapi sebelumnya, pandangan masyarakat terhadap generasi millenial ialah tertuju pada apa yang sedang populer saat ini, yaitu “ kids zaman now”. Sebuah hal yang keliru sebenarnya. Generasi millenial ialah generasi yang terdiri dari seseorang yang lahir pada rentang waktu 1980-2000an. Sedangkan generasi “kids zaman now” adalah generasi yang lahir setelah generasi Y atau millenial. Generasi ini pun disebut generasi Z. Lalu, bagaimana wujud dari generasi millenial yang sebenarnya?
Menurut Pew Research Center (Millenials: A Potrait of Generation Next, 2010) generasi millenial sangatlah unik. Yang sangat menonjol dari keunikan generasi millenial ialah penggunaan teknologi yang menjadi kebutuhan pokok dalam menjalani kehidupan, terutama internet. Internet seperti candu tapi lebih dari sekedar candu. Internet lebih dari weed ataupun Whiskey. Jika pengguna narkoba ataupun pemabuk melakukan kegiatannya pada saat-saat tertentu, pengguna internet melakukan kegiatannya seharian penuh. Bisa kita bayangkan sendiri jika seorang pecandu internet harus direhabilitasi. Berapa pasien yang terjangkit candu yang lebih dari sekedar candu ini?
Albert Einstein mengatakan, “jelas menjadi menggemparkan bahwa teknologi telah melampaui kemanusiaan kita”. Kita semua tau bahwa Einstein hidup sampai tahun 1955 dan internet diciptakan oleh departemen pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969 ( Wikipedia : Sejarah Internet ). Teknologi saat sebelum tahun 1955 sudah menggemparkan si Einstein yang jenius ini. Apa yang akan dikatakan Einstein jika ia seorang milenial? Atau mungkin Einstein juga akan ikut tak berdaya seperti kita? Patut dibicarakan di media sosial kita.
Lalu, mengapa generasi millenial disebut generasi masa depan, generasi emas? Saat 100 tahun kemerdekaan, orang-orang dari generasi kita lah yang akan mengatur dan menjalankan arah negara ini menuju. Maju atau terus tertinggalnya negara berada di pundak kita. Pastilah kita berharap zaman yang gilang gemilang, semua problematika terpecahkan, kesejahteraan yang menciptakan senyum-senyum di setiap insan negara akan tercipta bukan? Bagaimana semua hal yang indah tersebut dapat terjadi? Atau mungkin semua itu hanya akan menjadi sebuah obrolan warung kopi dan sebuah angan-angan yang imajiner belaka?
Jika kita bercermin pada diri kita hari ini, bukan tidak mungkin negara kita hanya akan menjadi negara berkembang yang istiqomah. Istiqomah yang tanpa progress, tanpa kemajuan. Siput pun yang bergerak lambat tetap mempunyai progress. Mungkin juga kita punya progress yang isinya tanpa progress. Atau mungkin juga kita terlalu cinta pada sifat mengandalkan seseorang. Kita mengandalkan progress seseorang yang membuat kita terlalu peduli pada diri sendiri. Sialnya, orang yang kita andalkan pun tidak punya progress. Muncullah egoisme-egoisme yang membuat negara ini terus menjadi negara statis.
Bagaimana kita akan bangkit dari ketertinggalan jika kita hidup dalam sebuah keegoisan yang mendominasi? Dalam ketidakpedulian yang merasuk dalam jiwa dan nurani kita? Menjadikan kita sebuah negara dengan sumber daya alam yang makmur tetapi hanyalah sebuah konsumen sejati. Berada dalam zona yang membuat kita nyaman tapi lambat laun membuat kita tidur dalam sebuah keterpurukan. Apa yang hendak kita lakukan agar terbangun dalam tidur yang berkepanjangan ini?
Sebuah hal yang sangat mendasar yang sampai hari ini kita terus lupakan ialah kita tidak menyadari betapa pentingnya MEMBACA. Sebuah jurnal di Institut Teknologi Bandung menyebutkan bahwa negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain, mereka sudah menyadari pentingnya membaca dan memiliki perpustakaan sejak berpuluh tahun bahkan berates tahun. Ada laporan berjudul World’s Most Literate Nations (Central Connecticut State University,2016) merilis bahwa peringkat literasi Indonesia berada di urutan ke 60 dari 61 negara yang diteliti. Lalu Milan Kundera mengatakan “ jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya: maka pastilah itu akan musnah”. Apakah kita tidak sadar bahwa kita menuju kemusnahan bangsa? Bukan bangsa lain yang ingin menghancurkan kita, tetapi kita sendiri yang bergerak menuju kemusnahan tersebut. Di Indonesia dewasa ini, minat baca dan gerakan literasi layak menanam pohon di tanah tandus, tak akan tumbuh dan mati oleh waktu. Panjang sedikit malas, ada banyak paragraf bosan, banyak kata kiasan dibilang lebay. Lalu, bagaimana kita dapat merealisasikan harapan-harapan mulia jika hal tersebut terus membelenggu kita?
Tidak penting kita membaca fiksi atau nonfiksi, idealisme, naturalisme, komedi atau pun yang lainnya, yang terpenting ialah kita harus terus membaca. Membaca membentuk karakter dan kepribadian kita. Apa yang anda baca ialah cerminan diri anda 20 tahun yang akan datang, kata pepatah. Membaca adalah sebuah pondasi untuk memahami segala problematika yang ada. Bagaimana kita dapat membangun negara menuju kearah yang lebih baik jika kita tidak meningkatkan sumber daya kita? Dengan wawasan yang luas, pemahaman yang mendalam, perilaku yang arif dan bijaksana, kepekaan sosial, kita akan bergerak menuju kegemilangan, kesejahteraan rakyat, yang menjadikan nusantara salah satu negara yang patut diperhitungkan.
Kita berdemo, turun kejalan, berteriak-teriak, menyalurkan aspirasi, kritik berkepanjangan. Semua itu kita dasari dengan kata membangun negeri. Bagaimana kita membangun negeri jika kita tidak memberikan solusi? Kita terlalu jauh dari buku-buku kita. Kita terlalu ambil pusing terhadap gerakan-gerakan organisasi-organisasi dengan slogan “membangun negeri”. Kita melupakan hal yang paling dekat dengan kita yang merupakan kunci dari majunya sebuah bangsa.
Memulai membaca, memulai membangun negara menuju peradaban yang mulia!
Irvan Achmad Fadilah CJI
No Responses